Islam
adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di
dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan
hutang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang
berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan
aturan-aturan dalam berhutang.
Hukum Berhutang
Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta’aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }
“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang
kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi
yang digadaikan kepada orang tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:
( أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Kebiasaan Sering Berhutang
Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh
hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’
dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah
sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang
pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan
seterusnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan
akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan
banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh
lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut
sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat
dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu
dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:
( اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ
الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ)
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang“
Berkatalah seseorang kepada beliau:
( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )
“Betapa sering engkau berlindung dari hutang?”
Beliau pun menjawab:
( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )
“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)
Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan
dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa
berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang
diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala.
Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan
berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa
besar bukan?
Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering
berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya?
Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.
Memberi Jaminan Ketika Berhutang
Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”
Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.
Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang
mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan.
Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang
menjadi pembayarannya.
Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang.
Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut
bisa berupa:
- Harta yang dimiliki
Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan. Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.
- Menggadaikan barang (Ar-Rahn)
Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)
Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.
- Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)
Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.
Keburukan Jika Hutang Tidak Sempat Dilunasi
Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan
di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena
orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia
akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga
keburukan pada tulisan ini.
Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.
( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )), قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa
jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah
dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya,
‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab,
‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi
jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah
dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun
menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta
peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun
menshalatinya. Kemudian
didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun
berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan
harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya,
‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau
pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian!
Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah!
Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.”
(HR Al-Bukhaari no. 2289)
Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk
pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia
tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah
selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan
hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki
tanggungan hutang.
Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya
Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)
“Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?”
Beliau pun menjawab:
( نَعَمْ
وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )
“Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya,
maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya
Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)
Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.
Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya
Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )
“Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)
Nasehat Seputar Hutang
Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa
hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca
sekalian:
- Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.
- Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.) “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)
- Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati
yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah
dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)
“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)
- Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan,
maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya,
terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya.
Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja
memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
( مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )
“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)
- Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.
Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat
untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang
lain.
( اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )
–
Sumber : Muslim.Or.Id
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !